BADAL HAJI



Ibadah Haji Adalah Fardhu Hukumnya Dalam Islam. Maka Bila Seseorang Terhalang
Menunaikan Haji Hingga Ia Wafat Maka Kewajiban Tersebut Bisa Dilaksanakan Oleh
Orang Lain Baik Keturunannya Atau Orang Yang Dapat Dipercaya. Kegiatan
Menghajikan Orang Yang Telah Tiada Atau Orang Yang Sudah Tak Mampu
Melaksanakannya Sebab Udzur Ini Disebut Sebagai ' BADAL HAJI '.





Hampir Seluruh Ulama Memperbolehkan Badal Haji Atau Dalam Istilah
Fiqihnya Al Hajju 'Anil Ghoir. Bahkan Dalam Pelaksanaan Badal Haji Terdapat Dua
Kondisi Yang Melatar-Belakangi;




PERTAMA : Mayit Mampu Secara Fisik Dan Keuangan Saat Ia Hidup. Seseorang Yang
Saat Hidup Mempunyai Kesehatan Dan Dana Yang Cukup Untuk Berhaji, Namun Karena
Kehendak Allah Subhanahu Wataa’la Maka Ia Tidak Mampu Mewujudkan Keinginannya
Untuk Berhaji. Dalam Kondisi Seperti Ini Maka Menjadi Kewajiban Bagi Ahli Waris
Dan Keturunannya Untuk Menghajikan Si Mayit.








KEDUA : Yaitu Orang Yang Semasa Hidup Tidak Mampu Atau Orang Sepuh Masih Hidup Namun Sudah Tidak Sangup Melakukan Haji, Maka Badal Haji Untuk Mereka Diperbolehkan Berdasarkan Dalil-Dalil Yang Sudah Disebutkan Di Atas.







DALIL TENTANG BADAL HAJI




Hal Ini Berdasarkan Dalil:

"Ada Seorang Pria Datang Kepada Nabi Saw Seraya Berkata, 'Saat Haji
Difardhukan Kepada Para Hamba, Ketika Itu Ayahku Sudah Amat Sepuh Dan Ia Tiada
Sanggup Menunaikan Haji Maupun Menunggang Kendaraan. Bolehkah Aku Menghajikan
Dia?' Rasulullah Saw Menjawab, 'Lakukanlah Haji Dan Umrah Untuk Ayahmu!'"
HR. Ahmad & An Nasa'i




Kalau Saja Orang Tua Yang Sepuh Yang Tidak Mampu Menunaikan Ibadah Haji Dan
Menunggang Kendaraan Boleh Dibadalkan Hajinya, Lalu Bagaimana Kiranya Dengan
Orang Yang Kuat Dan Sehat Namun Belum Berhaji Jawabannya Tentu Lebih Boleh Lagi
Untuk Dibadalkan. Hal Ini Berdasarkan Dalil Hadits Shahih Lain Yang Menyatakan
Bahwa Ada Seorang Perempuan Berkata Kepada Rasulullah Saw, "Ya Rasul,
Ibuku Pernah Bernadzar Mengerjakan Haji Namun Ia Belum Menunaikannya Hingga
Wafat, Bolehkah Aku Berhaji Untuknya?" Nabi Saw Menjawab, "Berhajilah
Untuk Ibumu!" HR. Muslim, Ahmad & Abu Daud.









TATA CARA BADAL HAJI




1) Orang Yang Melaksanakan Sudah Lebih Dulu Mengerjakan Haji Untuk Dirinya
Sendiri.

2) Si Pelaksana Berniat Haji Untuk Orang Yang Diwakilkan.

3) Diutamakan Badal Haji Ini Dilakukan Oleh Ahli Waris Ataupun Keluarga
Terdekat.

4) Bila Tidak Ada Ahli Waris Yang Dapat Melakukannya, Maka Boleh Diamanahkan
Kepada Orang Yang Dapat Dipercaya.

Itulah Keterangan Yang Dapat Diberikan Soal Ibadah Badal Haji. Dengan
Mengerjakan Ibadah Badal Haji, Maka Pahalanya Akan Tersampaikan Kepada Si
Mayit, Juga Untuk Orang Yang Melaksanakannya. Hal Terpenting Adalah Bahwa Rukun
Islam Kelima Yang Menjadi Kewajiban Bagi Mayit Sudah Tertunaikan Dengan Cara
Badal Haji Ini.










JASA BADAL HAJI & BADAL UMRAH




Untuk Memudahkan Kaum Muslimin Muslimat Sekalian,

Kami Melayani Jasa Badal Haji & Badal Umrah

Kami Akan Memberikan Amanah Anda Kepada Para Mahasiswa Indonesia, Malaysia,
Thailand Yg Menuntut Ilmu Di Arab Saudi Dan Negara2 Sekitarnya Seperti Mesir
Dan Yaman Serta Para Muqiimin ( Orang2 Yang Menetap Di Saudi Arabia ) Yang
Faham Ilmu Agama Dan Terpercaya Insyallah.

Harga Badal Haji & Badal Umrah

( Untuk Tahun Ini )




* Jasa Badal Haji : USD 800

* Jasa Badal Umrah ( Bulan Biasa ) : USD 150

* Jasa Badal Umrah Ramadhan : USD 300










CINDERAMATA









Bagi Orang Yang Telah Dibadal Hajikan Atau Dibadal Umrahkan, Insyallah Akan

Mendapatkan :

1. Sertifikat Badal Haji/Umrah Dengan Foto Dan Tanda Tangan Yg Orang Yang

Mengerjakannya.

2. Sajadah

3. Minyak Wangi

4. Tasbih









CATATAN :



Pengiriman Gratis Hanya Untuk Wilayah JABODETABEK, Selain Wilayah Tsb, Ditanggung
Oleh Yang Bersangkutan.






WARNING !!!


Jangan Tertarik Dengan Harga Murah, Tapi Tidak Bertanggung Jawab Di Sisi ALLAH
SWT...


( Naudzubillah )
























ILMU PENGETAHUAN TENTANG BADAL HAJI








Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah
bin Baz ditanya:


Barangsiapa mati dan belum
berhaji karena sakit, miskin atau semacamnya, apakah ia mesti dihajikan?


Beliau rahimahullah menjawab:


Orang yang mati dan belum berhaji
tidak lepas dari dua keadaan:





Pertama:





Saat hidup mampu berhaji dengan badan dan
hartanya, maka orang yang seperti ini wajib bagi ahli warisnya untuk
menghajikannya dengan harta si mayit. Orang seperti ini adalah orang yang belum
menunaikan kewajiban di mana ia mampu menunaikan haji walaupun ia tidak
mewasiatkan untuk menghajikannya. Jika si mayit malah memberi wasiat agar ia
dapat dihajikan, kondisi ini lebih diperintahkan lagi. Dalil dari kondisi
pertama ini adalah firman Allah Ta’ala,





وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ
الْبَيْتِ


“Mengerjakan haji ke Baitullah
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, [yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah]” (QS. Ali Imran: 97)


Juga disebutkan dalam hadits
shahih, ada seorang laki-laki yang menceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Sungguh ada kewajiban yang mesti hamba tunaikan pada Allah. Aku
mendapati ayahku sudah berada dalam usia senja, tidak dapat melakukan haji dan
tidak dapat pula melakukan perjalanan. Apakah mesti aku menghajikannya?”
“Hajikanlah dan umrohkanlah dia”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(HR. Ahmad dan An Nasai). Kondisi orang tua dalam hadits ini telah berumur
senja dan sulit melakukan safar dan amalan haji lainnya, maka tentu saja orang
yang kuat dan mampu namun sudah keburu meninggal dunia lebih pantas untuk
dihajikan.





Di hadits lainnya yang shahih,
ada seorang wanita berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku bernadzar
untuk berhaji. Namun beliau tidak berhaji sampai beliau meninggal dunia. Apakah
aku mesti menghajikannya?” “Berhajilah untuk ibumu”, jawab Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam. (HR. Ahmad dan Muslim)





Kedua:





Jika si mayit dalam keadaan
miskin sehingga tidak mampu berhaji atau dalam keadaan tua renta sehingga
semasa hidup juga tidak sempat berhaji. Untuk kasus semacam ini tetap
disyari’atkan bagi keluarganya seperti anak laki-laki atau anak perempuannya
untuk menghajikan orang tuanya. Alasannya sebagaimana hadits yang disebutkan
sebelumnya.





Begitu pula dari hadits Ibnu
‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang berkata,
“Labbaik ‘an Syubrumah (Aku memenuhi panggilanmu atas nama Syubrumah), maka
beliau bersabda, “Siapa itu Syubrumah?” Lelaki itu menjawab, “Dia saudaraku
–atau kerabatku-”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya, “Apakah
engkau sudah menunaikan haji untuk dirimu sendiri?” Ia menjawab, ”Belum.” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Berhajilah untuk dirimu
sendiri, lalu hajikanlah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Daud). Hadits ini
diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara mauquf (hanya sampai
pada sahabat Ibnu ‘Abbas). Jika dilihat dari dua riwayat di atas, menunjukkan
dibolehkannya menghajikan orang lain baik dalam haji wajib maupun haji sunnah.









Adapun firman Allah Ta’ala,


وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا
مَا سَعَى


“Dan bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An Najm: 39). Ayat
ini bukanlah bermakna seseorang tidak mendapatkan manfaat dari amalan atau
usaha orang lain. Ulama tafsir dan pakar Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud
adalah amalan orang lain bukanlah amalan milik kita. Yang jadi milik kita
adalah amalan kita sendiri. Adapun jika amalan orang lain diniatkan untuk
lainnya sebagai pengganti, maka itu akan bermanfaat. Sebagaimana bermanfaat
do’a dan sedekah dari saudara kita (yang diniatkan untuk kita) tatkala kita
telah meninggal dunia. Begitu pula jika haji dan puasa sebagai gantian untuk orang
lain, maka itu akan bermanfaat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang mati namun masih memiliki utang puasa, maka hendaklah ahli
warisnya membayar utang puasanya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari
‘Aisyah). Hal ini khusus
untuk ibadah yang ada dalil yang menunjukkan masih bermanfaatnya amalan dari
orang lain seperti do’a dari saudara kita, sedekah, haji dan puasa. Adapun
ibadah selain itu, perlu ditinjau ulang karena ada perselisihan ulama di
dalamnya seperti kirim pahala shalat dan kirim pahala bacaan qur’an. Untuk
amalan ini sebaiknya ditinggalkan
karena kita mencukupkan pada dalil dan berhati-hati dalam beribadah. Wallahul
muwaffiq.


(Fatwa Syaikh Ibnu Baz di atas
diterjemahkan dari: http://www.binbaz.org.sa/mat/690).











Para ulama menjelaskan bahwa ada
tiga syarat boleh membadalkan haji:


1. Orang yang membadalkan adalah orang
yang telah berhaji sebelumnya.


2. Orang yang dibadalkan telah meninggal
dunia atau masih hidup namun tidak mampu berhaji karena sakit atau telah
berusia senja.


3. Orang yang dibadalkan hajinya mati
dalam keadaan Islam. Jika orang yang dibadalkan adalah orang yang tidak pernah
menunaikan shalat seumur hidupnya, ia bukanlah muslim sebagaimana lafazh tegas
dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, alias dia sudah kafir.
Sehingga tidak sah untuk dibadalkan hajinya.


(Lihat bahasan di:
http://www.saaid.net/Doat/assuhaim/fatwa/69.htm.









Yang perlu diperhatikan:





1. Tidak boleh banyak orang (dua orang
atau lebih) sekaligus dibadalkan hajinya sebagaimana yang terjadi saat ini
dalam hal kasus badal haji. Orang yang dititipi badal, malah menghajikan lima
sampai sepuluh orang karena keinginannya hanya ingin dapat penghasilan yang
besar. Jadi yang boleh adalah badal haji dilakukan setiap tahun hanya untuk
satu orang yang dibadalkan. (Lihat





2. Membadalkan haji orang lain dengan
upah dilarang oleh para ulama KECUALI jika yang menghajikan tidak punya
harta dari dirinya sendiri sehingga butuh biaya untuk membadalkan haji.





Nasehat terakhir: Allah Ta’ala
berfirman,


مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا
لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا
النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16
)


“Barangsiapa yang menghendaki
kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan
dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka
dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11] : 15-16). Qotadah
mengatakan, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia
cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan
kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan
apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash dalam beribadah
(yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan balasan di
dunia juga dia akan mendapatkan balasan di akhirat.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim)





Semoga Allah senantiasa
memberikan petunjuk dan ikhlas dalam beribadah pada-Nya.


Wallahu waliyyu taufiq.



















Total Pageviews

No posts.
No posts.